Dari Solo ke Jakarta Jalan Kaki Demi Meruwat Negeri
Beragam gejolak yang terjadi di negeri ini beberapa waktu terakhir, mendorong para budayawan untuk melakukan langkah-langkah penyelamatan secara spiritual. Salah satunya adalah dengan aksi bertema Kawula Alit Ngruwat Nagari.
Depthinfo - Serombongan pria berpakaian serba hitam berjalan cepat menyusuri ruas jalan yang menghubungkan wilayah Kabupaten Karanganyar dengan Kota Surakarta, Jawa Tengah, Senin (16/9) siang. Teriknya matahari yang bersinar, seolah tak dirasakan oleh rombongan yang berasal dari Desa Anggrasmanis, lereng Gunung Lawu itu. Mereka terus saja berjalan memecah kepadatan lalu lintas, mengawal seorang pria paruh baya yang berpakaian serba putih di depannya.
Rombongan yang berjumlah sekitar 30an orang ini kontan saja menarik perhatian para pengguna jalan. Apalagi pria berbaju putih di baris paling depan, tak henti-hentinya mengumandangkan kidung berbahasa Jawa. Sehingga memaksa siapapun yang melintas di dekatnya untuk berhenti sejenak, guna menyaksikan iring-iringan warga tersebut.
Mbah Lawu memimpin doa di Pendapa Langensari |
Adalah budayawan Lawu Warta, sosok pria berbaju putih yang memimpin iring-iringan itu. Keprihatinan akan kondisi bangsa belakangan ini, memaksa budayawan yang akrab disapa Mbah Lawu ini untuk menggelar aksi yang diberi tema Kawula Alit Ngruwat Nagari.
Ya, bagi Mbah Lawu keruwetan yang terjadi pada bangsa ini terjadi karena semakin pudarnya nilai-nilai spiritualitas. Karena itulah, tidak ada cara lain untuk mengembalikan kondisi itu selain dengan cara yang bersifat spiritual juga. Yaitu dengan melakukan ruwatan.
Besarnya permasalahan yang dihadapi, membuat prosesi ruwatan yang dilakukan tidak sederhana. Bukan pada kelengkapan sesaji dan yang lainnya, tapi pada bentuk prosesinya. Sebab untuk prosesi ini, Mbah Lawu harus naik ke puncak Gunung Lawu untuk mengambil air suci dari Sendang Drajat. Lalu air itu harus dibawa sambil berjalan kaki menuju Tugu Monas Jakarta.
Simbol Asal Muasal Kehidupan
Tugu Monas dipilih karena menjadi ikon dari ibukota negara Indonesia. Tugu yang menjadi lambang lingga yoni atau simbol asal muasal kehidupan ini, diyakini sebagai tempat di mana pusat energi spiritual negeri ini berada. Sehingga sangat tepat untuk dipilih sebagai lokasi dilakukannya ruwatan. Sebab nantinya akan terjadi proses penyatuan energi yang diharapkan bisa menciptakan stabilitas energi. Yang tentunya akan meredam segala kekacauan yang terjadi pada negeri ini.
Simbolisasi lain yang digunakan adalah sebuah bendera merah putih. Namun bendera yang digunakan di sini bukan bendera biasa. Bendera berukuran 170 x 80 cm (simbol 17 Agustus) itu dijahit secara manual oleh para wanita warga Desa Anggrasmanis.
Rombongan Mbah Lawu saat tiba di Pendapa Langensari |
Para wanita menurut Mbah Lawu adalah simbol asal muasal kehidupan. Dari para rahim wanita inilah lahir generasi-generasi penerus bangsa. Karenanya diharapkan dengan dirajutnya bendera merah putih oleh para wanita - yang sebelumnya telah menjalani ritual khusus, diharapkan negeri ini akan terlahir kembali dalam kondisi yang jauh lebih baik.
"Spiritualitas adalah yang utama dalam hidup ini. Karena spiritualitas inilah yang akan menuntun kita untuk jadi seperti apa. Orang bisa dengan mudah belajar teknik, matematika atau yang lain. Tapi susah untuk mendalami spiritualitas. Di mana untuk itu harus ada niat yang kuat serta ketulusan hati untuk selalu menciptakan kebaikan," jelas Mbah Lawu, saat singgah di pendapa Langensari, komplek Keraton Surakarta Hadiningrat.
Ritual Kawula Alit Ngruwat Nagari ini sendiri merupakan bagian dari serangkaian acara adat yang digelar masyarakat Desa Anggrasmanis, terutama Dukuh Babar. Adapun rangkaian acara yang digelar seminggu sebelumnya itu antara lain, ruwat Tirta Kalisodo, pembukaan Patirtan Sapta Rsi, pagelaran sendratari Tothok Uwok, serta kidung sasanti, dan ruwatan terhadap anak-anak Anggrasmanis.
Anggrasmanis memang menjadi satu wilayah yang istimewa. Masyarakat di desa yang berada di kereng atas Gunung Lawu ini, masih kuat memegang tradisi leluhur. Karena itulah, di sini masih kerap ditemui prosesi acara budaya. Sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur dan alam semesta.
Bagi Mbah Lawu, kuatnya tradisi budaya yang dipegang warga Anggrasmanis, berdampak positif pada lingkungan di sekitarnya. Di mana lingkungan hutan di wilayah ini masih sangat terjaga dengan baik. Karenanya langkah-langkah yang dilakukan oleh warga Anggrasmanis ini, diharapkan juga diikuti oleh seluruh masyarakat yang tinggal di lereng Gunung Lawu.
Rombongan Mbah Lawu saat turun dari puncak Gunung Lawu |
Hal ini juga disepakati oleh pemerhati budaya dari Kota Solo, BRM. Kusumo Putro, SH, MH yang juga ketua Dewan Pemerhati dan Penyelamat Seni Budaya Indonesia (DPPSBI). Kusumo yang kerap m lakukan aksi untuk mencegah upaya perusakan alam Gunung Lawu ini, mengakui bahwa wilayah Desa Anggrasmanis dan masyarakat adatnya begitu istimewa. Karenanya dia sangat mendukung upaya-upaya pelestarian budaya yang dilakukan warga desa ini.
"Saya beberapa kali datang ke wilayah Anggrasmanis. Dan saya merasakan sendiri bagaimana kuatnya warga di sana menjaga adat istiadat. Sehingga dampaknya alam di sekitar desa itu tetap terjaga dengan baik. Saya berharap kondisi ini bisa menular ke yang lain. Karena bagaimanapun Gunung Lawu ini adalah sumber kehidupan bagi warga di sekitarnya. Dengan selalu menjaga alam Gunung Lawu, maka sumber mata air di kawasan ini tidak akan rusak dan mati. Yang berarti kehidupan seluruh mahluk di dalamnya bisa terus berjalan," ungkap Kusumo yang ikut menyambut kedatangan rombongan Mbah Lawu.
Karena itu pula, Kusumo sangat mendukung aksi yang dilakukan Mbah Lawu. Bahkan dia berjanji untuk terus mengawal perjalanan Mbah Lawu dari Solo ke Jakarta, mesti tidak secara langsung ikut dalam rombongan.
"Saya akan terus mengawal perjalanan itu dari sini (Solo). Karena itu saya harap progressnya bisa terus di-update ke saya. Informasikan terus keadaan dan keberadaan Mbah Lawu, agar saya bisa melakukan langkah-langkah untuk membantu melancarkan perjalananya," sambung Kusumo.
Mbah Lawu bersama rombongannya saat melintasi ruas jalan Kabupaten Karanganyar |
Usai singgah sebentar di Pendapa Langensari, rombongan Mbah Lawu langsung meneruskan perjalanan menuju Jakarta. Namun sebelumnya mereka juga sempat mampir ke rumah dinas walikota Surakarta, di Loji Gandrung.
Menurut rencana, perjalanan akan menempuh rute jalur selatan. Di mana di sepanjang rute ini memang banyak terdapat situs-situs bersejarah yang akan disinggahi oleh rombongan Mbah Lawu. Yang mana hal ini bagian dari upaya untuk penyatuan energi spiritual. Sehingga bisa menyempurnakan prosesi ritual ruwat nagari.
Perjalanan sendiri diperkirakan menempuh waktu 20 - 30 hari. Sesampai di Jakarta, Mbah Lawu akan langsung menuju Monas dan melakukan ritual. Di sini juga akan dilakukan pengibaran bendera merah putih yang telah disiapkan dan dirituali. Usai ritual, kalau memungkinkan bendera itu selanjutnya akan diserahkan ke Presiden Joko Widodo di istana negara. Supaya energi yang tersimpan di dalamnya bisa ikut membantu presiden menjaga negeri ini.
"Tujuan utama saya ke Jakarta ya untuk meruwat. Dan tempatnya diputuskan di Monas. Peraoalan apakah nanti akan bertemu presiden atau presiden yang datang, saya tidak bisa memastikan. Yang penting semua dijalani dulu," pungkas Mbah Lawu. //Sik