Didi Kempot dan Konsistensi Sang Legenda Penjaga Budaya Jawa
Kepergian Didi Kempot yang begitu mendadak, tentu saja mengejutkan banyak pihak. Pasalnya Didi selama ini hampir tak memiliki keluhan penyakit apapun. Bahkan dia selalu fit menjalani serangkaian jadwal manggung yang begitu padat.
Di tengah wabah Covid-19 yang melumpuhkan perekonomian, Didi juga sempat menggelar konser amal. Bekerja sama dengan Kompas TV, dalam konser tersebut berhasil dikumpulkan dana sebesar Rp 7,6 miliar, yang semuanya disumbangkan untuk penanganan Covid-19.
Jiwa sosial inilah yang membuat banyak orang belum bisa percaya, kalau sang maestro itu telah pergi untuk selama-lamanya.
Ya. Didi Kempot memang seorang maestro. Dia pergi dengan meninggalkan ratusan karya yang sangat melekat di hati para penggemarnya. Yang membuatnya akan selalu dikenang sepanjang masa.
BACA JUGA:
Menghapus Sedih, Didi Kempot Joget di Haul Sang Ayah
Mengangkat tema kehidupan yang sederhana dan ringan, lagu-lagu Didi Kempot memang bisa dengan mudah diterima oleh para penikmat musik.
“Sebagai penyanyi, Didi Kempot adalah sosok seniman yang komplit. Dia mampu menghidupkan budaya lokal dalam setiap lagu-lagunya, di tengah generasi sekarang. Karya-karyanya bahkan digemari oleh segala lapisan masyarakat,” jelas Rahayu Kertawiguna, CEO Nagaswara yang pernah menaungi beberapa album Didi Kempot.
Berkarir sejak 1984, Didi mengawali kiprah sebagai seorang pengamen jalanan di Kota Solo. Dan sejak awal dia memang konsisten dengan genre musik campursari.
Jalan Sukses
Pria kelahiran 31 Desember 1966 ini juga sempat mengadu nasib dengan menjadi pengamen di ibukota. Bahkan nama Kempot didapatkan dari aktifitasnya itu, yang merupakan singkatan dari Kelompok Pengamen Trotoar.
Sampai akhirnya namanya mulai dikenal setelah menciptakan lagu berjudul Cidro pada tahun 1989. Bahkan dari lagu ini pula, Didi sempat diundang ke Suriname untuk manggung di sana pada 1993.
Satu demi satu karya pria yang bernama lahir Dionisius Prasetyo itu tercipta. Namanya pun semakin dikenal tak hanya di dalam negeri, tapi juga di luar negeri. Karena itu, selain di Suriname, Didi Kempot juga pernah diundang untuk tampil di Rotterdam Belanda pada 1996.
Lagu Stasiun Balapan yang diciptakan pada 1998 semakin meneguhkan posisi Didi Kempot sebagai seniman campursari. Lagu ini juga yang menjadi gerbang kesuksessan Didi Kempot di blantika musik tanah air. Hingga selanjutnya banyak tembang hits yang lahir dan membawanya meraih berbagai penghargaan, baik dari dalma maupun luar negeri.
"Didi Kempot bukan hanya seorang musisi. Dia juga penjaga kebudayaan yang konsisten. Kita semua merasa sangat kehilangan dengan kepergiannya," ungkap Ketua Forum Budaya Mataram, BRM Kusumo Putro, SH, MH.
BRM Kusumo Putro, Ketua Forum Budaya Mataram |
Kusumo juga menambahkan bahwa saat ini sulit mencari sosok seperti Didi Kempot. Konsistensinya menjadi satu hal yang membedakan dirinya, dengan musisi yang lain.
"Selama puluhan tahun dia konsisten dengan campursari. Dia sangat berjasa dalam mengangkat musik Jawa ini, hingga bisa diterima semua kalangan. Bahkan seolah ingin meneguhkan kejawaannya, dalam beberapa konsernya, dia selalu mengenakan baju adat Jawa lengkap," lanjutnya.
Kini Didi Kempot telah pergi untuk selamanya. Di saat namanya kembali mencuat, setelah para generasi Z bisa menerima dan menyukai karya-karyanya. Bisa jadi hal ini adalah jalan Tuhan untuk memuliakan nama Didi Kempot, yang banyak mengisi waktunya dengan beragam kegiatan sosial.
"Atas nama Forum Budaya Mataram, saya menyampaikan duka cita yang sangat mendalam atas meninggalnya Disi Kempot. Semoga Tuhan membeei gempat yang terbaik di sisiNya. Selamat jalan sang legenda. Namamu akan selalu dikenang para sobat Ambyar di seluruh dunia," pungkas Kusumo. //rad