Perjuangan Keraton Pajang. Bertahan di Tengah Cibiran, Demi Tegaknya Kebudayaan
Semangat pelestarian kebudayaan, membuat Suradi bisa tetap menjaga Keraton Pajang, meski terus diserang berbagai pihak
WARTAJOGLO, Sukoharjo - Beberapa waktu terakhir, masyarakat digemparkan dengan kemunculan kerajaan-kerajaan baru yang mengklaim diri memiliki kekuasaan sangat besar. Ada keraton Agung Sejagat, lalu Sunda Emperor serta King of The King, dan mungkin masih ada lagi yang lainnya.
Tingkat kesejahteraan yang rendah serta angan-angan untuk mengalami perubahan hidup yang cepat, disebut-sebut sebagai faktor banyaknya orang yang kemudian terlibat dalam pembentukan kerajaan-kerajaan fiktif itu. Yang ujung-ujungnya justru harus berurusan dengan hukum.
Hampir sama dengan kemunculan kerajaan-kerajaan itu, sebuah kerajaan baru di wilayah Kabupaten Sukoharjo sempat muncul sekitar sebelas tahun yang lalu. Dan kemunculannya saat itu juga sempat membuat masyarakat di sekitar Kota Solo dan sekitarnya gempar. Pasalnya di kota ini sudah ada dua keraton, yang secara resmi diakui negara. Yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Mangkunegaran.
Adalah Suradi, seorang warga Jebres, Kota Solo yang membangkitkan lagi Keraton Pajang dan mengklaim diri sebagai pimpinan baru di kerajaan yang pernah didirikan oleh Joko Tingkir itu. Dengan gelar Kanjeng Raden Aryo Adipati Suradi Joyo Nagoro, pria 60 tahunan ini mengaku masih memiliki garis keturunan dengan leluhur Keraton Pajang. Sehingga merasa berhak untuk membangkitkan kerajaan yang menjadi penerus Kerajaan Demak itu.
Tak hanya itu, kecintaannya pada budaya dan tradisi leluhurlah, yang mendorongnya untuk membangkitkan kembali sejarah Pajang yang selama ini nyaris terlupakan. Karenanya sebuah perhelatan sakral digelar di Balai Agung Keraton Pajang, dan dihadiri perwakilan dari keraton-keraton nusantara, pada 3 Maret 2009. Yang selanjutnya menobatkan Suradi sebagai Sultan Pajang dengan gelar KRA Suradi Joyo Nagoro.
Pelestarian Budaya
Sebuah polemik sempat muncul terkait munculnya sosok Suradi yang mencoba membangkitkan lagi Keraton Pajang. Sebab di tengah konflik serta meredupnya pamor keraton-keraton yang ada di nusantara, tentu upaya yang dilakukan Suradi dipandang sebagai langkah yang aneh.
Namun hal itu tidak mematahkan semangat Suradi untuk meneruskan langkahnya. Sebab apa yang dilakukannya bukanlah demi sebuah kekuasaan seperi yang dibayangkan oleh masyarakat awam. Posisinya hanyalah sebagai pemimpin budaya yang akan berusaha untuk melestarikan serangkaian tradisi budaya dari masyarakat Pajang, yang kemungkinan tidak dimiliki oleh masyarakat lain.
“Pada intinya penobatan saya sebagai pemimpin baru di Keraton Pajang ini adalah bagian dari gerakan budaya. Sebagai upaya pelestarian tradisi peninggalan nenek moyang. Karena itulah, meski banyak orang yang mempertanyakan kapasitas saya di keraton ini, saya tetap akan terus maju untuk mengembalikan kejayaan keraton ini yang telah lama dilupakan masyarakat,” jelas Suradi saat ditemui WARTAJOGLO di komplek Yayasan Keraton Kasultanan Pajang, Jumat (17/1) siang.
Sultan Pajang saat duduk di singgahsananya dalam sebuah acara |
Bila menengok ke belakang, pengangkatan Suradi sebagai Sultan di Pajang memang tidak pernah diduga oleh pria tersebut. Semua berawal dari adanya tawaran sebuah proyek pembangunan komplek masjid di wilayah Glagah Wangi, Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Dari situlah, Suradi bertemu dengan salah seorang tokoh dari Persaudaraan Keraton-Keraton Nusantara, yaitu Duli Yang Maha Mulia Sri Sultan Suryo Alam Joyokusumo. Yang selanjutnya bersama para perwakilan dari keraton-keraton nusantara menobatkan Suradi sebagai Sultan Pajang.
“Pertimbangannya saat itu memang lebih banyak pertimbangan spiritual. Namun semua juga tak lepas dari kepedulian saya pada upaya pelestarian tradisi dan budaya di sekitar petilasan Keraton Pajang. Karena itulah, demi tetap lestarinya tradisi-tradisi itu, akhirnya saya dinobatkan menjadi Sultan,” sambung Suradi.
Dan kini sudah sebelas tahun Suradi memimpin dan menghidupkan lagi tradisi budaya di wilayah Pajang. Hal itu tentu tidak serta merta menghilangkan cibiran dari masyarakat, terutama mereka yang memandang bahwa gerakan budaya yang dijalankan Suradi bagai sebuah mimpi di siang bolong. Apalagi di wilayah Solo masih ada Keraton Surakarta yang jelas-jelas mendapat pengakuan dari negara.
Namun tekad untuk melestarikan budaya terus mendorong Suradi untuk bisa meyakinkan berbagai kalangan, terkait tindakannya. Dan sejauh ini sudah semakin banyak pihak yang bisa memahami posisi Suradi. Sehingga kemudian ikut mendukung di tiap perhelatan acara-acara budaya yang diselenggarakan di Keraton Pajang. Termasuk pelaksanaan tingalan jumenengan yang digelar tiap tanggal 3 Maret.
“Semua memang harus diperjuangkan. Termasuk pelestarian budaya. Dan sekali lagi saya tegaskan bahwa ini bukanlah gerakan untuk menyaingi keraton-keraton yang sudah ada. Sebab saya tidak memburu kekuasaan. Semuanya murni sebagai bentuk kepedulian pada sejarah dan budaya. Karena itulah, saya tidak meminta dana kepada siapapun. Bahkan semua yang saya pakai untuk melakukan pembangunan dan operasional selama ini, murni dari dana pribadi saya,” pungkas pria yang belakangan mendapat gelar baru Sultan Prabu Hadiwijaya Khalifatullah itu. //bang