Antara Beban dan Harapan di Balik Nama La Lembah Manah
Foto: ist |
Orang Jawa meyakini bahwa nama-nama tertentu bisa menjadi beban tersendiri pada pemiliknya. Karenanya perlu perhitungan khusus untuk menentukan nama yang tepat, agar bisa mendatangkan keberuntungan
WARTAJOGLO - Melalui sebuah operasi cesar, tepat hari Jumat 15 Nopember 2019 pukul 15.46 WIB, cucu ketiga Presiden Rai Joko Widodo lahir. Bayi mungil berjenis kelamin perempuan putri pasangan Gibran Rakabuming Raka dan Selvi Ananda itu lantas diberi nama La Lembah Manah. Sebuah nama yang tentu saja langsung menyita perhatian masyarakat, karena keunikannya.
Pemberian nama yang unik untuk cucunya, bukanlah yang pertama kali. Sebelumnya dua cucunya yang lain yaitu Jan Ethes Srinarendra dan Sedah Mirah Nasution juga sempat jadi bahan perbincangan, karena keunikan namanya. Namun hal itu tidak pernah jadi masalah, karena bagaimanapun nama-nama yang diberikan itu memiliki makna yang baik. Dan hal itu berarti mengandung doa untuk sang anak.
Jan Ethes Srinarendra yang lahir pada 10 Maret 2016, secara harfiah memiliki arti pemimpin cerdas yang sangat cekatan. Lalu cucu kedua, putri pasangan Kahiyang Ayu dengan Bobby Nasution diberi nama Sedah Mirah. Lahir pada 1 Agustus 2018 makna Sedah Mirah adalah menawan serta dermawan bagi orang-orang sekitar. Selanjutnya cucu ketiga yang merupakan adik dari Jan Ethes diberi nama La Lembah Manah. Yang menurut sang ayah (Gibran), memiliki makna rendah hati.
Foto: ist |
Pemilihan kata-kata dengan makna filosofi tinggi, tentu bukan tanpa sebab. Menurut pemerhati budaya yang juga ketua umum Forum Budaya Mataram, BRM. Kusumo Putro, SH, MH, setidaknya dengan pemilihan kata-kata itu, menunjukkan bahwa Jokowi adalah sosok yang sangat mencintai kebudayaan Jawa. Sehingga hal itu terus diturunkan ke anak dan cucunya.
"Nama cucu-cucu Jokowi memang sangat kental dengan nuansa Jawa. Hal ini menunjukkan karakter Jokowi yang sangat nJawani dan sangat menjunjung tinggi Bahasa Jawa, sebagai bahasa sehari-hari warga Solo. Yang mana saat ini sudah semakin jarang, orang Jawa yang memakai bahasa Jawa untuk memberi nama anak-anaknya. Padahal bahasa Jawa itu sangat bagus artinya dan mempunyai makna yang luar biasa," jelasnya saat dihubungi wartajoglo.com lewat sambungan telepon, Minggu (17/11) siang.
Foto: ist |
Karena itulah, Kusumo berharap bahwa apa yang ditunjukkan Presiden Jokowi dengan keluarganya, bisa menginspirasi berbagai pihak untuk senantiasa mencintai budayanya. Khususnya bagi masyarakat Jawa. Yang kebetulan saat ini sudah semakin meninggalkan budaya leluhur, demi alasan kemajuan jaman.
"Semoga apa yang dilakukan Jokowi, bisa menjadi contoh yang baik bagi masyarakat, khususnya Jawa. Bahwa menjadi orang Jawa itu harus bisa nJawani, termasuk salah satu contohnya dalam hal memberi nama kepada semua keturunannya," sambung Kusumo.
Beban Nama
Nama memang tidak harus dikaitkan dengan status sosial seseorang. Sebab hal itu akan memunculkan sikap-sikap diskriminatif, yang bisa memicu terjadinya gejolak dalam kehidupan bermasyarakat. Namun demikian, tak hanya sebagai penanda identitas, sebagaian besar orang juga meyakini bahwa di balik nama terkandung sebuah doa dan harapan. Dipilihnya satu nama tertentu untuk seorang anak, tentu akan diiringi sebuah harapan besar dari orang tua si anak tersebut, agar bisa menjadi seperti sosok yang namanya dipakai. Karena itulah, tak jarang para orang tua berusaha untuk mencari kata atau kalimat tertentu yang memiliki arti baik, untuk dijadikan nama anak mereka. Tentunya seperti yang dilakukan Jokowi dan keluarganya.
Kata-kata yang bermakna baik seperti Selamet, Untung, Anugerah, Rizky atau yang lainnya, kerap dipilih dengan harapan agar anak yang memiliki nama tersebut benar-benar bisa mendapatkan kondisi seperti nama yang dimilikinya.
“Bagi sebagian orang Jawa, ada nama yang diberikan sebatas pertanda saja. Misalnya kalau lahirnya tepat di hari Senin, maka nama yang diberikan juga Senen. Lalu kalau lahir di pasaran Legi, diberi nama Legiyo dan lainnya. Nama-nama ini sangat sederhana karena dalam perkembangannya biasanya akan mengalami pergantian sesuai dengan pekerjaannya nanti. Kalau kemudian dia bekerja di perpustakaan maka namanya kelak pasti akan berganti menjadi Pustokodipuro. Demikian pula dengan profesi yang lainnya,” jelas KP. Daryohadinagoro, budayawan asal Solo kepada wartajoglo.com dalam sebuah kesempatan beberapa waktu lalu.
Terkait pemberian nama yang didasarkan pada tokoh-tokoh besar di masa lalu, menurut pria yang juga akrab dipanggil Kanjeng Cuk ini, umumnya didasarkan pada sejarah dan kisah hidup tokoh yang memiliki nama tersebut. Hal ini biasanya akan banyak dipakai oleh mereka yang masuk dalam lingkaran keraton. Karenannya, akan banyak ditemui nama yang cenderung diulang dari masa ke masa, di kalangan orang-orang ini.
Namun sayangnya dalam pemilihan nama, orang tua terkadang tidak pernah menyadari, kalau nama tersebut bisa menjadi beban tersendiri bagi kehidupan si anak. Terutama yang diambil dari nama tokoh terdahulu. Yang oleh masyarakat Jawa dikenal dengan sebutan kabotan jeneng atau keberatan nama.
Disebut keberatan nama karena dengan nama tersebut, seorang anak justru tidak pernah mengalami kebahagiaan. Berbagai musibah malah kerap menghampirinya, hingga selalu memunculkan keresahan dalam jiwanya. Dan fenomena ini bukanlah hal baru di masyarakat. Karena itulah kemudian banyak orang yang berusaha mengganti namanya, dengan nama yang diyakini lebih baik.
Menurut Kanjeng Cuk ada beberapa hal yang menyebabkan seseorang memiliki nama yang berat. Pertama karena minimnya pengetahuan orang tua mengenai sejarah dari tokoh yang namanya dipakai untuk anak mereka. Umumnya para orang tua hanya melihat dari kosa kata pembentuk nama tersebut yang dipandangnya bagus. Padahal lebih dari itu, di balik nama tersebut ternyata tersimpan sebuah sejarah menyedihkan yang bukan tidak mungkin berimbas pada kehidupan si anak.
Penyebab lain adalah tidak dimilikinya bekal kemampuan spiritual yang lebih oleh anak-anak yang memakai nama dari tokoh besar terdahulu. Padahal dengan menyandang nama tersebut, seseorang dituntut memiliki kekuatan lebih, agar bisa meredam efek buruk dari nama tersebut.
“Nama-nama seperti Ronggolawe, Bisma atau yang lainnya haruslah dimiliki oleh orang yang secara batin memiliki kelebihan. Sebab bila tidak, maka dia akan mengalami masalah dalam hidupnya. Sebab tokoh-tokoh yang namanya dipakai itu adalah para tokoh sakti yang semasa hidupnya tidak pernah lepas dari berbagai ujian hidup,” jelas sentono dalem Keraton Surakarta Hadiningrat itu.
Kekuatan Doa
Pergantian nama memang dibutuhkan agar bisa lepas dari beban tersebut. Sebuah ritual khusus perlu diadakan untuk mengiringi proses pergantian nama tersebut. Sebab proses pemberian nama ataupun pergantian nama tidak bisa lepas dari sebuah harapan kepada Tuhan, agar diberikan kehidupan yang baik. Karena itu, alangkah baiknya juga disertai dengan serangkaian prosesi ritual tertentu, sebagai simbol jalinan komunikasi antara manusia dengan Tuhan.
Sebuah ritual sederhana seperti selamatan, ruwatan atau yang lainnya memang perlu untuk menyertai proses pergantian nama. Namun semua tentu tidak lepas dari masalah biaya yang terkadang tidak sedikit. Nah, bagi mereka yang secara ekonomi pas-pasan, tentu akan mengalami kesulitan tersendiri. Karena itu, Kanjeng Cuk menjelaskan bahwa hal utama dalam prosesi penggantian nama adalah berdoa. Jadi, meski tanpa harus ada selamatan dan yang lainnya, yang penting disertai doa untuk menjadi lebih baik, sudah cukup.
“Selamatan itu kan tradisi yang dicontohkan nenek moyang kita, dan itu bukan sesuatu yang buruk. Tapi kalau misalnya tidak memiliki biaya, dan sangat mendesak untuk segera berganti nama, maka cukup berdoa saja sambil berharap nama baru yang disandangnya akan memberi kebaikan,” jelasnya.
Point penting dari pemilihan nama adalah doa. Karena itu orang akan selalu berusaha memilih kosa kata yang bermakna baik untuk nama anak-anak mereka.
"Ada banyak pilihan kata yang bisa dipilih untuk sebuah nama. Baik itu berasal dari bahasa Jawa, Sansekerta, Arab atau lainnya. Dan untuk itu, selain secara estetika indah, hendaklah dipilih yang memiliki makna yang baik," sambungnya.
Nilai Keberuntungan
Tak hanya keyakinan kandungan doa di balik nama. Masyarakat Jawa juga dikenal percaya adanya nilai-nikai keberuntungan di balik pemikihan kosa kata untuk sebuah nama. Yang mana hal itu didasarkan pada perhitungan-perhitungan tertentu.
Dalam berbagai kitab primbon Jawa, disebutkan bahwa untuk menentukan nama seorang anak perlu dilakukan penghitungan neptu dari huruf vokal penyusun nama tersebut. Namun huruf yang dimaksud di sini bukannya huruf yang biasa kita baca, melainkan menggunakan patokan huruf Jawa yang berjumlah 20 buah.
Neptu dari huruf-huruf itu sendiri cuma dilihat dari urutannya saja. Misalnya ha=1, na=2, ca=3, ra=4, ka=5, da=6, ta=7, sa=8, wa=9, la=10. Lalu pa=11, dha=12, ja=13, ya=14, nya=15, ma=16, ga=17, ba=18, tha=19, nga=20. Selanjutnya neptu itu dijumlahkan dan dibagi 5. Hasilnya bila sisa 1 maka berarti sri atau banyak rejeki dan senantiasa selamat. Sedangkan bila sisa 2 artinya lungguh atau kelak akan memiliki pangkat dan kedudukan. Lalu bila sisa 3 artinya gedhong atau kelak akan jadi orag kaya.
Untuk hasil perhitungan berikutnya bisa dibilang kurang baik. Sebab bila sisa 4 maka artinya lara atau saklit-sakitan serta senantiasa menderita. Sedangkan bila sisa 5 atau habis tak bersisa berarti pati, atau tidak berumur panjang, dan selalu menderita.
Salah satu contoh bila ada seorang anak diberi nama Herman, maka unsure huruf yang menyusun nama tersebut adalah ha dan ma. Bila dijumlahkan ha=1, ma=16 hasilnya 17. Lalu 17 dibagi 5 hasilnya sisa 2, berarti anak yang bernama Herman kelak akan menjadi orang yang berpangkat.
Tak cuma satu metode perhitungan terkait nama yang dimiliki masyarakat Jawa. Masih ada beberapa metode lain yang saat ini sepertinya sudah tidak pernah dipakai. Karena seiring perkembangan jaman, masyarakat sudah lebih memilih berpikir praktis. Sehingga pemilihan sebuah nama lebih banyak didasarkan pada arti filosofis dari sebuah kata yang dipakai. Yang tentunya diiringi harapan, agar kelak sang anak memiliki nasib seperti makna yang terkandung dalam namanya.
Demikian juga dalam kasus cucu ketiga Jokowi, La Lembah Manah. Yang mana dengan nama itu, seluruh keluarganya berharap kelak dia menjadi sosok yang rendah hati, seperti sang kakek (Jokowi). Sehingga bisa dengan mudah diterima oleh banyak kalangan. //her