Meredam Amarah Durga Pembawa Bencana dengan Ritual Mahesa Lawung

 

Prosesi Ritual Mahesa Lawung (Foto: dok) 

WARTAJOGLO, Karanganyar - Aroma asap dupa dan kemenyan menyeruak di seantero pelataran Ndalem Kayonan Keraton Surakarta Hadiningrat, saat para abdi dalem dan ulama keraton berdoa bersama, dalam rangkaian ritual Mahesa Lawung. Berbagai sesaji terutama kepala kerbau jantan lengkap dengan keempat kakinya pun, menjadi pemandangan menarik di tengah-tengah para abdi dalem, yang tengah khusyu berdoa.

 

Ya, tepat di hari Senin terakhir (14/12) bulan Ba’da Mulud atau Rabiul Akhir, pihak Keraton Surakarta, dalam hal ini Lembaga Dewan Adat menggelar ritual wilujengan nagari Mahesa Lawung. Sebuah ritual wajib yang memang selalu digelar demi mendoakan seluruh bangsa agar terhindar dari masalah.

 

Dan sesuai dengan namanya Mahesa Lawung yang berarti kerbau jantan, dalam ritual ini sesaji utama yang dipersembahkan memang seekor kerbau jantan yang masih perjaka. Yang mana, konon sesaji ini adalah benda persembahan yang paling disukai, oleh bangsa lelembut yang kerap menciptakan masalah di dunia. Sehingga dengan memberikan sesaji itu, maka bisa sebagai bagian dari upaya untuk melobi mereka. Agar tidak menciptakan masalah, baik berupa bencana ataupun musibah di alam ini.

 

Penggunaan sesaji berupa kepala kerbau sendiri sebenarnya adalah bagian dari tradisi lama yang sudah dilakukan para raja di tanah Jawa. Namun tentu saja, sesaji yang digelar sekarang ini telah mengalami berbagai pergeseran atau pengembangan yang disesuaikan dengan kondisi zaman dan kultur yang ada saat ini. 

 

 Hari Buruk 

Tradisi ini adalah pengembangan dari ritual Rajawedha yang dilakukan oleh raja-raja Majapahit. Dan karena Keraton Surakarta merupakan kerajaan penerus Majapahit, maka tradisi itu tetap dijalankan. Hanya saja untuk tradisi yang dijalankan sekarang, di dalamnya sudah banyak dipadukan dengan unsur ajaran Islam, sebagai agama utama yang dianut pihak keraton.

 

“Tradisi ini adalah warisan nenek moyang. Sejak dari jaman Majapahit, tradisi ini sudah rutin digelar. Bahkan dari beberapa kitab kuno disebutkan bahwa kerajaan-kerajaan tua sebelum Majapahit juga sudah kerap melaksanakannya,” ungkap GKR Koes Moertiyah Ketua Lembaga Dewan Adat. 

 

Apa yang disampaikan Gusti Moeng sapaan akrab GKR Koes Moertiyah, ada benarnya. Sebab dalam Serat Pustakaraja, Witaradya, dan naskah-naskah kuno lainnya, antara lain disebutkan bahwa yang namanya wilujengan nagari Rajawedha itu sudah ada dan dilaksanakan sejak zaman dulu.  

 

Bahkan dalam kisah pewayangan, hal ini juga diceritakan. Salah satunya adalah kisah di mana Pandawa sedang mendirikan Kerajaan Indrapasta, yang diiringi dengan menggelar sesaji Rajawedha. Sebagai sebuah upaya untuk mencari keselamatan dan kesejahteraan negara dan rakyatnya. Sesaji Rajawedha dapat diartikan sebagai wilujengan atau sesaji dari sang raja berserta kawula (rakyat) untuk mendapatkan berkah dan karunia dari Tuhan. 

 

Pelaksanaan Mahesa Lawung sendiri memang selalu diadakan pada tiap Senin atau Kamis terakhir di Bulan Ba’da Mulud atau Rabiul Akhir. Hal ini disesuaikan dengan pelaksanaan upacara sesaji Rajawedha yang diadakan di jaman Majapahit. Hanya saja selanjutnya waktunya dikonversikan ke perhitungan Jawa dan jatuh pada hari Senin atau Kamis di minggu terakhir bulan Ba’da Mulud. 

 

Dan yang menarik, selain sesuai dengan waktu pengadaan upacara ini di jaman Majapahit, hari Senin atau kamis terakhir di bulan Ba’da Mulud selalu jatuh pada hari Samparwangke dan Taliwangke, yang dalam keyakinan masyarakat Jawa merupakan hari yang buruk. Sebab bersamaan dengan hari itulah, Bathari Durga sebagai penguasa alam kegelapan, diyakini membunuh Mahesa Suramandini. Sehingga selanjutnya diikuti dengan ritual pengorbanan terhadap kerbau Mahesa Lawung. 

 

Dan karena selalu jatuh pada hari taliwangke atau samparwangke, yang diyakini sebagai hari naas, maka pelaksanaan ritual Mahesa Lawung memang sangat tepat. Karena upacara ini diyakini bisa menetralisir energi negatif di hari itu.  

 

Prosesi wilujengan Mahesa Lawung sebenarnya cukup sederhana. Setelah berbagai sesaji didoai, selanjutnya berbagai sesaji yang salah satunya adalah kepala Mahesa Lawung (kerbau yang masih perjaka dan belum pernah dipekerjakan) beserta empat telapak kakinya, walang atogo (berbagai jenis belalang) sebagai simbol rakyat kecil, mulai diarak menuju ke hutan Krendawahana. Yang berada di wilayah Gondang Rejo, Kabupaten Karanganyar.

 

Sesampainya di hutan ini, semua sesaji segera diletakkan di atas altar Bathara Kalayuwati atau juga disebut Dewi Durga, yang diyakini sebagai penguasa tempat ini. Beberapa tahun lalu di atas altar tersebut terdapat arca Dewi Durga. Yang kini telah hilang karena dicuri. Namun demikian, masyarakat tetap meyakini kekeramatan tempat itu. Dan tetap percaya dengan aura kemarahannya bila tidak diberi persembahan sesaji.

Sesaji kepala kerbau dikubur usai didoai

Usai didoai, sesaji kepala kerbau beserta keempat kakinya dikuburkan. Aroma wangi bunga setaman yang ditaburkan, akan berbaur dengan aroma alkohol dari cairan ciu, yang digunakan untuk mencegah pembusukan pada bagian tubuh kerbau, yang dibungkus kain mori.

 

Pemilihan tempat di hutan Krendawahana sendiri bukanlah tanpa sebab. Dalam konsep sedulur papat lima pancer, diyakini bahwa keraton dilindungi oleh empat unsur kekuatan. Di sebelah Timur dilindungi oleh kekuatan danyang penunggu Gunung Lawu. Lalu di sisi Selatan ada sosok Ratu Kidul. Di sisi Barat ada penguasa Gunung Merapi. Dan di sisi Utara adalah Hutan Krendawahana yang dikuasai Bathari Kalayuwati. Sedangkan di tengah adalah keraton itu sendiri. //Sik


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel