Ndalem Kemasan, Saksi Bisu Kisah Pilu Kanjeng Ratu Mas


WARTAJOGLO, Solo - Kanjeng Ratu Mas hanya duduk termangu, bersandar di tiang soko guru Ndalem Kemasan. Pandangan matanya kosong, sekosong harapannya akan kembalinya suami tercinta Sinuhun Pakubuwono VI. Yang diculik Belanda, dan dibuang ke Ambon. 

Sesekali dia melirik ke sepucuk surat dari sang suami, yang dikirimkan dari tanah pembuangan. Air matanyapun tanpa sadar meleleh. Jatuh di atas perutnya yang makin membuncit, karena mengandung janin putra mahkota Keraton Surakarta Hadiningrat.

Ya, penangkapan sang suami karena dituduh membantu perjuangan Pangeran Diponegoro, jadi awal bencana bagi Ratu Mas. Sebab intrik di dalam keraton, memaksanya untuk terusir keluar bersamaan dengan naiknya Raden Mas Malikis Solikin sebagai raja dengan gelar Pakubuwono VII.

Ratu Mas pun memilih tinggal di Ndalem Kemasan, yang berada di sekitar komplek kepatihan. Rumah sederhana berdinding kayu jati ini, sebenarnya bukan rumah yang asing baginya. Sebab di sinilah sang suami kerap menghabiskan waktu untuk laku spiritual. Dan tak jarang dia datang untuk menemaninya.

Ratu Mas memang terpaksa memilih Ndalem Kemasan sebagai tempat pengungsian. Meski hatinya ingin kembali ke tempat kelahirannya di Walen, Boyolali. Namun hal itu harus diendapkan. Sebab saat itu dia sedang mengandung. 

Sinuhun Pakubuwono IX (wikipedia) 
Dia tentu tidak ingin status sang anak sebagai putra mahkota, akan hilang bila dia pulang ke kampung halaman. Karena ada aturan adat, yang membuat status Ratu akan hilang, bila dia memutuskan pulang ke kampung halaman. Yang tentunya status putra mahkota dari anak yang dikandungnya, juga akan ikut hilang

Karena itulah. Dengan berbagai keterbatasan fasilitas, Ratu Mas tetap tabah. Hingga akhirnya sang putra pun lahir pada 22 Desember 1830. Nama Raden Mas Duksino diberikan pada sosok bayi tampan, yang kelak menjadi raja dengan gelar Pakubuwono IX itu.

Ari-ari sang jabang bayi pun dikuburkan di halaman Ndalem Kemasan. Sebagai penanda bahwa dia pernah hidup terlunta di luar tembok keraton. Yang akhirnya bisa menempa jiwa dan kepribadiannya. Dan kelak mengantarkan dirinya menjadi salah satu raja besar di Keraton Surakarta Hadiningrat, dengan julukan Sinuhun Bangun Kedaton.

LIHAT JUGA:

Bekas Rumah Panembahan Senopati Jadi Hotel Mewah

Begitulah gambaran sosok Ratu Mas yang diceritakan oleh penggiat sejarah asal Kota Solo, Raden Surodjo. Yang mana sejarah ini sangat lekat dengan sebuah bangunan kuno di kota ini yang disebut Ndalem Kemasan.

"Nama Ndalem Kemasan sendiri diberikan karena tempat ini menjadi tempat tinggal Gusti Kanjeng Ratu Mas, permaisuri Sinuhun Pakubuwono VI. Sebelumnya ini hanya sebuah pesanggrahan, tempat Sinuhun PB VI melakukan tirakat. Sebab di bagian belakang bangunan, dulu ada sebuah goa kecil untuk bertapa serta blumbang (mata air), untuk bersuci," jelas Surodjo.

Surodjo sendiri termasuk salah seorang ahli waris dari rumah yang berada di kawasan Jalan Mashela Kota Solo itu. Karena setelah Sinuhun Pakubuwono VIII wafat, dan RM Duksino naik tahta sebagai Sinuhun Pakubuwono IX. Tempat ini selanjutnya dipasrahkan ke kepatihan. 

Kondisi bangunan Ndalem Kemasan yang memprihatinkan

Pihak kepatihan lantas memasrahkannya kepada seorang tokoh bernama RM Truno Sentono. Yang selanjutnya dihuni oleh anak turunnya, termasuk sosok Projo Suwito, yang pernah menjadi Bupati Boyolali di tahun 1945 - 1946.

LIHAT JUGA:

Menepis Bencana dengan Nasi Liwet di Kandang Kyai Slamet 

Kini rumah yang terbilang masih utuh, meski dimakan usia itu ditempati oleh Budi Santoso. Yang juga masih trah dari RM Truno Sentono. Dan kesehariannya, di sini dijadikan tempat untuk berlatih teater. Bahkan banyak seniman kondang di Kota Solo dan berskala nasional, lahir dari sanggar yang dijalankan di bagian pendopo rumah ini.

"Tempat ini bisa dikatakan sebagai kawah candra dimukanya para seniman besar di Kota Solo. Bahkan dulu pernah dipakai untuk syuting salah satu scene dalam film tentang aktifis Widji Tukul. Karena beliau semasa hidupnya sering datang ke sini," sambung Surodjo.

Tetap Terjaga

Surodjo juga menambahkan bahwa secara garis beaar, tidak ada perubahan mendasar dari bangunan Ndalem Kemasan. Terutama untuk bangunan utamanya, yang memiliki empat tiang soko guru dari kayu jati utuh. 

Yang menarik, tiang itu konon dalam proses pembuatannya tanpa menggunakan gergaji. Mulai dari pemotongan hingga pembentukan, dilakukan dengan menggunakan pahat. Sehingga terlihat jelas gurat-gurat kasar di permukaanya. 

Soko guru bangunan Ndalem Kemasan yang dibuat dengan cara khusus

Pohon-pohon besar yang tumbuh di halaman rumah ini juga banyak yang masih menjadi bagian dari sejarah masa lalu. Salah satunya adalah pohon Wahyu tumurun, yang tumbuh di bagian belakang bangunan rumah utama. 

Pohon yang beberapa waktu lalu sempat ditebang separuh ini memiliki diameter batang sekitar 20 cm. Dan meski terbilang kecil, namun pohon itu diyakini sudah ada sejak rumah ini dibangun. Karena memang jenis tanaman ini terbilang memiliki pertumbuhan lambat. Sehingga meski sudah berusia ratusan tahun, ukuran batangnya tidak akan terlalu besar. 

Sementara itu ketua Forum Budaya Mataram (FBM), BRM Kusumo Putro SH MH mengaku prihatin. Sebab sejauh ini tidak ada kepedulian dari pemerintah daerah, terhadap bangunan yang sangat bersejarah itu. Sehingga kondisinya sangat memprihatinkan. 

R. Surodjo (kiri) dan BRM. Kusumo Putro SH MH (kanan), saat meninjau Ndalem Kemasan

Hal ini disampaikan Kusumo saat meninjau lokasi bangunan pada Kamis (12/11) sore. Karenanya pria yang juga Ketua Dewan Pelestari dan Penyelamat Seni Budaya Indonesia (DPPSBI) ini berencana mengirimkan surat kepada pemerintah daerah dan pusat. Agar ada perhatian khusus, terutama dalam upaya renovasi bangunan, terhadap Ndalem Kemasan. 

"Bagi kami ini sangat memprihatinkan. Sebab ternyata sejauh ini sama sekali tidak ada perhatian dari pemerintah, pada bangunan bersejarah ini. Padahal dari bangunan ini banyak terlahir berbagai peristiwa bersejarah, di Kota Solo. Sangat ironis," ujar Kusumo. 

Kusumo sendiri sempat takjub dengan beberapa bagian bangunan yang masih utuh dan terjaga. Terutama di bagian dalamnya. Sehingga pria yang juga seorang pengacara anggota PERADI Kota Surakarta ini sangat antusias, keluar masuk dari satu bagian ke bagian yang lain. 

"Secepatnya saya akan coba mengirim surat ke pemerintah, baik pusat dan daerah, agar segera ada tindak lanjut terhadap bangunan ini. Termasuk pemberian status cagar budaya. Untuk bisa melindunginya dari upaya pengrusakan," pungkas Kusumo. //sik

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel