Mengintip Aktifitas Para Pemancing di Waduk Gajah Mungkur



Wajah sumringah langsung terpancar, saat ujung gagang kail Jumali terlihat bergerak-gerak. Yang berarti bahwa umpan yang dilemparkannya ke tengah Waduk, berhasil dimakan oleh ikan. Dan benar, begitu ditarik dengan sedikit teknik dan perjuangan, seekor ikan nila berukuran besar tampak terkait di ujung kailnya.


Pria 55 tahun asal Giriwono, Kabupaten Wonogiri inipun segera melepas kaitan kail di mulut ikan. Dan kemudian memasukkan ikan tangkapannya ke dalam jaring yang telah disediakan.
“Ini baru dapat enam ekor, Mas. Dan ini yang terbesar,” ucapnya sembari mengulum sebatang rokok filter di bibirnya.
Jumali mengaku bahwa hari itu peruntungannya cukup besar. Karena baru dua jam memancing, enam ekor ikan sudah didapat. Padahal tak jarang, sudah berjam-jam memasang umpan, tak satupun ikan didapat.
Tapi itulah seninya orang memancing. Jumali menceritakan bahwa orang yang memancing itu penuh dengan filosofi. Jadi tidak sebatas hobi. Di mana di dalamnya ada tuntunan tentang hidup sabar dan pengakuan atas kebesaran Tuhan, atas rejeki yang dibagikan kepada umatnya.
“Kalau kita mau mengkaji, sebenarnya takaran rejeki kita, bisa kita lihat saat memancing. Sebaik apapun teknik yang kita lakukan, termasuk umpan serta lokasi yang strategis. Tapi kalau Yang Maha Kuasa tidak mengijinkan, maka seharian kita tidak akan dapat ikan. Dan itu berarti bahwa hari itu rejeki kita memang sedang seret,” ungkap pria yang kesehariannya berprofesi sebagai penjual daging sapi ini.
Pelajaran hidup seperti inilah, yang diakui Jumali bisa membentuk kepribadian dan jiwanya. Sebab setelah sekian puluh tahun menjalani aktifitas memancing, Jumali semakin sadar bahwa orang hidup itu harus senantiasa sabar serta nrima ing pandum. Karena segala sesuatu sudah ada yang mengatur. Dan sebagai manusia, kita hanya bisa menjalankan apa yang sudah digariskan oleh Yang Maha Kuasa.
Tak hanya kesabaran dan keikhlasan, memancing juga membentuk solidaritas dan memupuk kerukunan di antara sesama pemancing. Jumali mengatakan bahwa kerap kali mereka yang mendapatkan banyak ikan, akan membagi ikannya pada mereka yang sedikit atau bahkan tidak dapat sama sekali. Dan hal itu akan berulang secara timbal balik. Sehingga antara satu pemancing dengan yang lain jadi seperti saudara.
“Kita di sini awalnya sama-sama tidak kenal. Tapi karena sudah puluhan tahun selalu ketemu, akhirnya jadi sepeti keluarga. Saat ada yang belum datang, yang lain pasti akan menyiapkan tempat. Sehingga saat datang, dia tidak bingung lagi mencari tempat. Lalu kalau waktunya pulang, yang dapat banyak biasanya akan membagikan hasil pancingannya kepada yang tidak dapat. Karena bagaimanapun kita sudah sama-sama berjuang seharian. Jadi sebisa mungkin sama-sama merasakan hasilnya,” papar pria yang sudah hobi memancing sejak masih anak-anak itu.
Karena itulah terkadang rasa kebersamaan yang muncul itu bisa mengalahkan logika yang ada.
Bagaimana tidak? Menurut Jumali, seseorang yang akan memancing pasti butuh modal cukup besar untuk berbagai persiapannya. Mulai dari menyiapkan umpan, persiapan peralatan, bekal makanan dan lain-lain, serta transportasi. Yang itu semua minimal harus mengeluarkan uang sedikitnya Rp. 100 ribu.
Dan biasanya orang-orang seperti Jumali dan para pemancing di Waduk Gajah Mungkur, dalam seminggu bisa datang 3 – 4 kali. Yang berarti dalam sebulan dia bisa menghabiskan dana hingga Rp. 1,5 juta.
Sebuah angka yang cukup besar untuk mereka yang mungkin secara ekonomi berada dalam kelas menengah ke bawah. Namun pada kenyataannya, justru hal itu benar-benar terjadi di kalangan pemancing Waduk Gajah Mungkur.
“Orang suka mancing itu kadang pemikirannya sudah di luar akal sehat, Mas. Ibaratnya, dia berani gadaikan sertifikat demi bisa memancing. Padahal kalau orang normal, dengan uang segitu, mending beli di pasar, beres. Kita tidak perlu kepanasan dan kehujanan nunggu umpan digondol,” ungkap Jumali.
Tapi lagi-lagi itulah seni dari memancing. Yang tentu tidak setiap orang bisa memahaminya dengan baik. Karena menurut Jumali, saat bicara hobi, yang bicara adalah rasa (hati), bukan lagi akal (otak). Sehingga jangan heran kalau melihat seorang pemancing bisa betah berlama-lama menatap ujung gagang kail dengan sabar. Padahal dia tidak lagi punya uang, untuk dimakan anak dan istrinya esok hari.
Dan pemandangan seperti itu bisa dengan mudah kita temui sepanjang hari di tepi Waduk Gajah Mungkur Wonogiri. Di mana puluhan orang pemancing yang berasal dari berbagai wilayah di Wonogiri dan kabupaten sekitarnya, datang untuk mengadu nasib mereka di waduk ini. Dan untuk itu mereka rela kepanasan, kehujanan dan bahkan dihajar serangga malam, hanya demi mendapatkan satu atau dua ekor ikan, yang nilainya tidak seberapa. //

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel