Mengungkap Fenomena Pesugihan. Antara Laku Spiritual hingga Motif Politis
Keinginan untuk hidup berlimpah materi, namun enggan bekerja keras, mendorong banyak terjadinya praktik pesugihan di masyarakat
WARTAJOGLO, Solo - Seorang pria paruh baya terlihat khusyu berdoa di samping makam Syeh Joko yang berada di wilayah Desa Kaligawe, Kecamatan Pedan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Di dekatnya terlihat sang juru kunci dengan sabar menunggui, sembari menghisap sebatang rokok. Entah apa yang diminta oleh pria itu, hingga dia terlihat menangis sesenggukan di tengah doanya. Mungkinkah sudah sedemikian berat beban hidup yang ditanggungnya, hingga dia tak mampu lagi membendung air matanya saat berdoa.
Makam Syeh Joko sendiri memang kerap menjadi jujugan para peziarah yang kebetulan memiliki masalah dalam kehidupannya, terutama ekonomi. Banyak orang yang datang sembari berharap agar diberikan jalan keluar dari permasalahan yang dihadapi. Dan sejauh ini banyak yang mengaku berhasil mewujudkan harapannya itu.
Namun dari sekian banyak mereka yang berhasil, rata-rata karena memilih jalur pesugihan. Sebab makam Syeh Joko selama ini memang snagat dikenal sebagai salah satu pusat pencarian pesugihan di wilayah Kabupaten Klaten. Sebab di sini konon ada banyak bentuk jalan pesugihan yang bisa dipilih, agar seseorang bisa segera lepas dari permasalahan ekonomi yang membelitnya.
Tradisi Tua
Fenomena mencari pesugihan sendiri sebenarnya bukan hal yang baru di masyarakat. Sebab aktifitas ini lebih merujuk pada sifat dari seseorang yang ingin hidup senang tapi tanpa mau bekerja keras. Sehingga kemudian mencoba mencari jalan pintas, dengan menjalankan ritual pesugihan.
Ilustrasi ritual pesugihan |
Di masyarakat sendiri sangat banyak dan bahkan mudah ditemui tempat-tempat yang diidentikkan dengan sebuah laku pesugihan. Dan itu semua sejatinya lebih didasari oleh faktor keyakinan dan kebetulan dari para pelaku pesugihan itu sendiri.
Hal ini disampaikan oleh budayawan sekaligus sejarawan asal Surakarta, MT Arifin yang melihat bahwa fenomena pesugihan adalah fenomena yang sudah snagat tua. Sebab fenomena ini adalah bagian dari pengembangan tradisi pemberian sesaji kepada kekuatan di luar alam manusia.
“Saat memberikan sesaji tertentu, kita tentu berharap agar apa yang menjadi harapan kita bisa dikabulkan. Nah pesugihan pada dasarnya juga seperti itu. Hanya saja melalui peran seorang mediator, dalam hal ini juru kunci, seseorang bisa langsung melakukan negosiasi terkait bentuk persembahan apa yang harus diberikan. Agar apa yang diharapkan bisa terwujud,” jelas MT Arifin, seperti dikutip dari Majalah LIBERTY edisi 2618 (Maret 2016).
Ilustrasi Buto Ijo |
MT Arifin juga menjelaskan bahwa tidak ada catatan resmi terkait awal mula munculnya tradisi pesugihan. Namun dalam sebuah kitab tertentu, sempat tertuang cerita seorang tumenggung dari Majapahit yang meminta bantuan sosok Buto Ijo, untuk mendapatkan kekayaan. Hal itu berarti bahwa praktek-praktek seperti ini memang sudah ada sejak jaman Majapahit, atau bahkan sebelumnya.
Sebab bila dasar dari sebuah praktek pesugihan adalah tradisi persembahan kepada para Dewa atau leluhur. Tentu tradisi ini sudah ada, sejak keyakinan akan adanya kekuatan besar di luar manusia berkembang. Sehingga kemudian manusia berusaha untuk melakukan lobi-lobi spiritual, demi mewujudkan apa yang menjadi harapannya.
Dan terkait hal ini, MT Arifin menyebut bahwa tidak semua orang bisa menjalankan ritual pesugihan dengan baik. Sebab hal itu sangat dipengaruhi oleh kemampuan spiritual dari para pelaku itu sendiri. Yang mana hal itu menyangkut kemampuan menjalin komunikasi dengan kekuatan lain yanmg ada di luar alam manusia.
Karena itulah pesugihan lebih bersifat kebetulan dan sangat tergantung pengalaman spiritual dari tiap-tiap individu. Yang tentu antara satu orang dengan yang lain akan berbeda. Sehingga tingkat keberhasilan laku pesugihan yang dijalankan juga berbeda-beda.
“Sebenarnya dalam praktek pesugihan, ada dua fenomena berbeda yang terjadi. Ada pesugihan yang di dalamnya benar-benar merupakan sebuah peristiwa, di mana segala yang terjadi (kesuksesan) bisa berulang pada orang lain. Tapi ada juga yang hanya sebatas didasari sebuah keyakinan tertentu. Sehingga belum tentu orang lain yang mengikutinya, bisa sama-sama berhasil,” jelas MT Arifin.
Dalam pesugihan yang sebenarnya, tingkat keberhasilan ditentukan oleh lobi-lobi yang dilakukan. Dan hal ini membutuhkan kemampuan tertentu dari pelaku maupun mediator yang membantunya. Kegagalan dalam upaya melobi, yang mana di dalamnya terkait kompensasi yang harus diberikan, akan berdampak pada kegagalan ritual yang dijalankan.
MT Arifin juga menegaskan bahwa sebuah laku pesugihan, sejatinya akan selalu terkait erat dengan sosok penguasa alam gaib. Dalam hal ini Kerajaan Laut Selatan. Sebab pada dasarnya pengendali pasukan mahluk pemberi kekayaan seperti Buto Ijo, Blorong dan yang lainnya, adalah Nyi Blorong, yang menjadi panglima perang Kerajaan Laut Selatan.
Karena itu, pada umumnya laku pesugihan yang benar-benar nyata, hanya akan dilakukan di tempat-tempat yang identik dengan kerajaan gaib ini. Meskipun tidak tertutup kemungkinan lokasinya jauh dari Laut Selatan.
Motif Politis
Berbeda dengan fenomena pesugihan yang kedua, di mana di dalamnya biasanya hanya sebatas berisi ritual tertentu, yang didasari pada pengalaman spiritual seseorang yang pernah menjalankannya. Ada upaya meniru sesuatu yang sifatnya kebetulan. Sehingga tentu hasil yang didapat, terkadang tidak sesuai dengan yang diharapkan.
Contoh hal tersebut adalah cerita tentang pesugihan dari makam-makam tertentu, yang di dalamnya harus diikuti dengan sebuah ritual yang khas. Seperti di Gunung Kemukus, yang mana pelakunya diminta untuk menjalankan ritual seks bebas di sana.
Gunung Kemukus |
“Fenomena pesugihan di Gunung Kemukus kalau menurut saya, lebih didasari motivasi agar orang mau datang ke tempat ini. Sebab lokasi yang jauh, dan medan yang berat, tentu akan membuat orang enggan untuk datang dan tinmggal di sana. Namun karena di dalamnya diwarnai cerita-cerita tertentu, terkait ritus seks bebas yang bisa membuat siapa saja jadi kaya raya, akhirnya banyak orang yang mengadu keberuntungan di sana. Yang tentu kalaupun berhasil, semua lebih karena faktor kebetulan saja,” papar pria yang kerap melakukan penelitian terkait alam gaib ini.
Adanya motivasi tertentu terkait munculnya fenomena pesugihan di suatu tempat juga pernah disampaikan oleh almarhum Kresno Handayaningrat, budayawan asal Keraton Surakarta Hadiningrat. Hal ini terutama terkait identifikasi Kota Klaten sebagai pusat pesugihan di tanah Jawa.
Menurut Kresno munculnya image bahwa Klaten identik dengan pesugihan, tak lepas dari begitu banyaknya orang-orang kaya di wilayah ini pada jaman dulu. Dari dulu Klaten dikenal memiliki banyak pengusaha yang kaya raya, sehingga hal ini memunculkan fitnah bagi mereka yang merasa tersaingi, terutama dari para bangsawan keraton.
Nah karena kekayaannya itulah, wilayah ini selalu menjadi buah bibir di masyarakat. Karena itulah ada yang menyebut bahwa istilah Klaten berasal dari kata kelati atau buah bibir. Dan ternyata sampai sekarang pun wilayah ini tetap menjadi buah bibir, karena banyaknya tempat mencari pesugihan yang tersedia di sana.
Karena begitu banyak diperbincangkan, hal ini akhirnya membuat para bangsawan maupun pengusaha di tempat lain, terutama yang memiliki hubungan dengan keraton, mulai khawatir. Hingga kemudian menyebarkan isu negatif tentang usaha yang dilakukan para pengusaha Klaten dalam mendapatkan kekayaannya.
Nah karena yang menyebarkan isu adalah orang-orang yang dekat dengan keraton, maka isu tersebut begitu mudah diterima masyarakat. Sehingga akhirnya menyebar menjadi sebuah pandangan baru. Kresno menyebut bahwa pesugihan sebenarnya tidak terlalu terikat pada satu tempat tertentu. Di tempat-tempat yang lain di luar Klaten juga banyak yang diyakini sebagai tempat mencari pesugihan. Sebab pesugihan lebih terkait dengan masalah niat saja.
“Sebenarnya tidak ada sejarah yang pasti terkait banyaknya tempat pesugihan di Klaten. Semua lebih cenderung merupakan bentuk persaingan bisnis dan politik di jaman dulu. Sebab banyak orang Klaten yang saat itu kaya raya karena memiliki usaha tertentu. Dan karena khawatir kehilangan pengaruh di masyarakat, selanjutnya orang-orang yang merasa tersaingi dan kebetulan memiliki hubungan dengan keraton ini, melemparkan isu, bahwa kekayaan itu diperoleh dengan cara pesugihan. Selanjutnya dibuatlah semacam propaganda untuk mendramatisir keadaan, agar seolah-olah isu itu benar,” ungkap Kresno.
Kresno juga menyebut bahwa upaya pendiskreditan orang-orang kaya di Klaten terus dilakukan dalam berbagai bentuk. Bahkan dalam sebuah cerita ketoprak, ada salah satu tokoh Bupati Klaten yang diceritakan sebagai seorang pencuri. Hal ini karena sang bupati yang diceritakan kaya raya itu disebut-sebut tidak mau tunduk pada raja Solo saat itu.
Dari gambaran tersebut jelas terlihat bahwa antara pihak Keraton Solo dengan wilayah Klaten telah ada semacam persaingan terselubung. Hal ini menurut Kresno karena Klaten adalah wilayah yang berada di perbatasan antara wilayah kekuasaan Keraton Surakarta Hadiningrat dengan Ngayogjakarta Hadiningrat. Di mana meski berada di bawah kekuasaan Surakarta, namun para pemimpin Klaten banyak yang lebih berpihak pada Jogjakarta. Sehingga dalam kehidupan politiknya akan terdapat banyak intrik.
Pihak keraton akan mencoba menyingkirkan orang-orang yang dianggapnya tidak loyal. Dan cara untuk menyingkirkannya, salah satunya adalah dengan menghembuskan isu-isu negatif, termasuk soal pesugihan. Dengan begitu otomatis, orang yang diisukan seperti itu akan mendapatkan pandangan buruk di masyarakat. Sehingga akhirnya tidak lagi mendapat kepercayaan dan diturunkan dari jabatannya. //Rad