Ternyata Gajah Mada Pernah Membangun Masjid di Lereng Wilis




Kerenggangan hubungan dengan Raja Hayam Wuruk, mendorong Gajah Mada untuk keluar dari istana dan memilih mengasingkan diri ke Gunung Wilis. Di sini dia memutuskan memakai nama Islam, serta membangun sebuah masjid untuk warga setempat. Benarkah..?

Sepintas tak ada yang tampak istimewa dari makam tokoh yang disebut bernama Ki Ageng Aliman itu. Sebagaimana makam-makam yang dikeramatkan pada umumnya, bau dupa dan kemenyanpun tercium semerbak di setiap sudut makam yang berada di wilayah Desa Ngliman, Kecamatan Sawahan, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur ini. Namun sebuah tulisan yang tertempel di dekat daun pintu, cukup menarik siapa saja untuk membaca dan mengungkap siapa sosok Ki Ageng Aliman yang sampai saat ini, identitasnya begitu dirahasiakan.
Dan hal inilah yang kemudian membawa imajinasi seorang budayawan asal Nganjuk Drs. SW Warsito, M.Sc untuk berani mengambil kesimpulan bahwa sosok Ki Ageng Aliman sebenarnya adalah Gajah Mada. Tentu kesimpulan ini bukan tanpa dasar. Mantan kadisnaker Kabupaten Nganjuk itu memiliki bukti-bukti sejarah yang bisa membawa kesimpulan ke arah tersebut. Yang semakin menguatkan keyakinan bahwa Ki Ageng Aliman adalah nama samaran Gajah Mada.
"Semuanya berawal dari terjadinya peristiwa Perang Bubat, yang membuat hubungan antara Raja Hayam Wuruk dengan Mahapatih Gajah Mada mulai renggang. Sehinga kemudian Gajah Mada memutuskan untuk pergi dari istana dan mengasingkan diri ke Gunung Wilis, Namun tidak seorangpun yang tahu keberadaannya," terang SW Warsito,
Menurut SW, demikian panggilan akrab pria ini, hubungan baik antara Hayam Wuruk dengan Gajah Mada ternodai saat Raja Majapahit tersebut berniat meminang seorang puteri dari Kerajaan Pasundan bernama Dyah Pitaloka Citrasemi. Yang akhirnya justru berujung tragedi.
Kejadian berawal dari keinginan Raja Linggabuana dari Pasundan, agar rombongannya dijemput langsung oleh Raja Hayam Wuruk. Sebab Hayam Wuruk lah yang mengundang mereka, untuk meminang putri Pasundan Dyah Pitaloka.
Namun hal itu tidak disetujui oleh Gajah Mada, yang memimpin pasukan penjemputan. Karena Gajah Mada memandang bahwa Dyah Pitaloka bukannya dipinang, melainkan dijadikan wanita persembahan sebagai wujud penaklukan kerajaan di bawah Majapahit. Sebab dari sekian lama mewujudkan sumpah palapanya, Gajah Mada memang belum berhasil menaklukkan Pasundan. Dan rencana pernikahan Hayam Wuruk dnegan Dyah Pitaloka, dipandangnya sebagai momentum penting, untuk mewujudkan ambisinya mewujudkan sumpah palapa.
Kontan saja keterangan Gajah Mada tersebut membuat Raja Pasundan serta Dyah Pitaloka Citrasemi dan para pengiringnya tersinggung. Karena kabar yang mereka dapatkan semula adalah bahwa Hayam Wuruk ingin meminang putri Sunda itu sebagai permaisurinya. Akhirnya karena merasa bahwa Kerajaan Pasundan bukan bawahan Majapahit, rombongan Kerajaan Pasundan inipun bertekad melakukan perlawanan.
Perangpun akhirnya pecah setelah di antara kedua belah pihak tidak mendapatkan titik temu. Seluruh rombongan dari Kerajaan Pasundan itu habis oleh pasukan Gajah Mada termasuk sang raja. Sedangkan Diah Pitaloka sendiri akhirnya memilih untuk bunuh diri.
Peristiwa yang dikenal dengan sebutan perang bubat itu tentu saja membuat Hayam Wuruk terkejut dan sedih. Karena bagaimanapun dia tidak pernah memerintahkan Gajah Mada untuk melakukan hal itu. Semua terjadi karena ambisi Gajah Mada yang memang ingin segera mewujudkan impiannya yang diungkapkan dalam sumpah palapa. Dan hal ini bertolak belakang dengan keinginan Hayam Wuruk untuk segera beristri. 

Makam Ki Ageng Aliman

"Merasa telah melakukan sebuah kesalahan, Gajah Mada pun memutuskan untuk meninggalkan istana dan memilih untuk menjadi pertapa. Hayam Wuruk sendiri terus mengerahkan pasukannya untuk mencari Gajah Mada. Tapi Gajah Mada telah menghilang seperti ditelan bumi. Karena itulah kemudian banyak orang yang mengangap kalau Gajah Mada itu muksa. Padahal sebenarnya enggak. Gajah Mada memang sengaja mengasingkan diri dan kemungkinan tempatnya adalah Desa Ngliman, di lereng Gunung Wilis" ungkap mantan Kadisnaker Kabupaten Nganjuk ini.
SW juga menceritakan bahwa pada akhirnya Hayam Wuruk mengetahui tempat persembunyian Gajah Mada. Ini setelah Hayam Wuruk menikah dengan seorang putri dari Kerajaan Wengker, yang berada di sekitar lereng Gunung Wilis.
Dari info yang didapat inilah, beberapa utusan dikirim untuk menjemput Gajah Mada. Namun sayang upaya untuk membujuk Gajah Mada gagal. Bahkan utusan Hayam Wuruk itu konon malah memilih untuk menemani Gajah Mada sampai akhir hayatnya,

Kegagalan mewujudkan ambisinya untuk menaklukkan seluruh wilayah nusantara, memang menjadi sebuah pukulan batin yang telah bagi Gajah mada. Karena itulah, hal ini diduga mendorong Gajah Mada untuk memilih menadi orang biasa dan lepas dari dunia politik. bahkan demi menghapus semua kenangan terkait cita-citanya yang gagal, Gajah Mada juga mengubah namanya menjadi Ki Ageng Aliman. Sebuah nama yang berbau Islam, karena kebetulan saat itu Islam sudah mulai berkembang di wilayah ini.
Bagi SW sendiri keberaniannya menyebut sosok Ki Ageng Aliman sebagai Gajah Mada bukannya tanpa dasar. Kegemarannya dalam menjalankan laku spirituallah yang mengarahkannya untuk menyebut dua tokoh ini sebagai sosok satu orang yang sama. Sebab selain melakukan study pustaka terhadap kitab-kitab sejarah yang ada, dia juga menunjangnya dnegan melakukan kontak batin dengan sosok Ki Ageng Aliman.
Dalam upaya yang dilakukannya inilah, dia berhasil bertemu langsung dengan arwah dari Ki Ageng Aliman yang mengakui bahwa dirinya adalah Patih Gajah Mada. Dari jalinan komunikasi gaib ini pula, SW bisa mendapatkan banyak data sejarah yang tak terungkap, terkait perjalanan hidup Gajah Mada. Termasuk langkahnya untuk membangun sebuah masjid di sekitar tempat persembunyiannya, untuk tempat ibadah warga yang kebetulan sudah memeluk Islam. Namun demikian, Gajah Mada disebutkan tetap menganut agama lamanya yaitu Budha.
Hal lain yang juga terungkap adalah wujud fisik dari Gajah Mada jauh dengan wujud yang selama ini digambarkan. Sebab sosok Gajah Mada yang ditemuinya justru memiliki wajah tampan dengan tubuh tinggi kekar dan rambut panjang. Bukan gendut seperti gambaran yang dibuat oleh Muhammad Yamin, sebagai orang pertama yang menulis sejarah Gajah Mada.
"Dari petunjuk yang saya dapatkan, wujud Gajah Mada yang sebenarnya tidak seperti yang digambarkan selama ini. Patung itu hanyalah bagian dari imajinasi Muhammad Yamin sebagai orang yang pertama kali menulis buku tentang sejarah Gajah Mada. Nama Gajah sendiri sebenarnya lebih merujuk pada kekuatan fisik dari seseorang. Yang bisa jadi berasal dari kemampuan olah kanuragan yang dikuasainya. Jadi bukan berarti digambarkan dalam wujud gemuk seperti yang berkembang selama ini,” sambung SW.
Pandangan SW semakin mantap setelah dia menghubungkan pantangan di makam tersebut yang terlarang bagi perempuan dengan sumpah palapa Gajah Mada. Dalam sumpahnya bisa ditarik pengertian bahwa Gajah Mada tidak akan mau menikmati kenikmatan dunia termasuk berhubungan dengan perempuan sebelum dirinya berhasil mempersatukan nusantara. Karena itulah dirinya tidak mau didatangi wanita termasuk saat dirinya telah mati, gara-gara merasa gagal dalam mewujudkan sumpahnya.
Di depan pintu masuk cungkup memang dengan jelas dituliskan bahwa wanita dilarang masuk. Dan sampai saat ini memang tidak ada seorang wanitapun yang berani melanggarnya. Kalaupun ada peziarah wanita, paling-paling dia hanya berdoa di luar pintu tersebut.

Masjid peninggalan Ki Ageng Aliman

"Sampai ajal menjemput, Gajah Mada tetap beragama Budha. Hanya saja saat itu dirinya menyamar sebagai seorang Islam. Hal ini agar tidak sampai menimbulkan kecurigaan di kalangan penduduk yang berada di sekitar tempat itu. Dia juga membangun masjid karena banyak penduduk yang telah memeluk Islam, termasuk beberapa anak buahnya," ujar SW.
Dan dugaan bahwa Ki Ageng Aliman adalah sosok Gajah Mada juga diperkuat dengan wasiat Raja Hayam Wuruk yang menginginkan abu jenasahnya disimpan di Candi Ngetos, di lereng Gunung Wilis. Yang kebetulan letaknya tidak jauh dari tempat Ki Ageng Aliman. Dalam pesannya sebelum meninggal, Hayam Wuruk konon agar dia bisa dekat dengan Gajah Mada, sosok yang telah membesarkan namanya dan kerajaan Majapahit. Karenanya dia meminta diabukan di lereng Gunung Wilis. //

Sumber: Majalah LIBERTY Nopember 2006


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel